Rabu, 19 November 2025

Murianews, Pati – Budayawan Anis Sholeh Baasyin menguliti makna dari isyarat dalam komunikasi dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman “Gen-Dupak”, Sabtu (16/9/2023) malam. Tiga simbol itu yakni esem, semu, dan dupak.

Ia mengatakan, dalam tradisi Jawa, model komunikasi terdiri dari tiga model yakni esem, semu, dan dupak. Ketiganya menurut dia, mempunyai makna dan tingkatan yang berbeda.

Esem atau dalam bahasa Indonesia senyum menurut dia, menjadi model komunikasi tertinggi lantaran masih berupa pesan simbolik nonverbal. Atau verbal tapi inti pesannya masih sangat ditentukan oleh kemampuan audiens menyerap, memilah, dan memilihnya.

”Seperti halnya saat Alquran menyebut bahwa dalam khamr ada kebaikan dan keburukan. Meski keburukannya lebih besar. Jika audiensnya memiliki kepekaan tinggi tentu langsung menangkap persannya bahwa tidak boleh meminum khamr karena banyak buruknya,” katanya.

Sementara dalam kategori semu, pesan disampaikan lewat serangkaian simbol verbal.  Meski letaknya di bawah model esem, tapi pesan ini pun masih sangat ditentukan oleh kemampuan audiens untuk menafsirkannya.

Kalau mengambil contoh dari Alquran, semu ini sejajar dengan ayat yang melarang salat saat mabuk. Meski masih bersifat terbatas, namun pernyataan ini sebenarnya semakin mempertegas pesan pokok yang ingin disampaikannya, yakni untuk menghindari khamr.

”Nah jika ada yang lebih jelas, tegas, langsung definitif menuju sasaran yang dimaksud atau bloko suto itu pada model komunikasi dupak. Contohnya dalam Alquran adalah ketika khmar secara umum diharamkan. Jadi isi pesannya sangat jelas, tak perlu dan tak membuka ruang tafsir untuk memahaminya” ujarnya.

Meski demikian menurut dia, perkembangan dunia informasi saat justru membuat posisi pesan menjadi tidak jelas. Terlebih di era media sosial seperti sekarang ini.

”Kalau dilihat di medsos. Antara satu pihak dengan pihak lainnya saling menegasikan satu sama lain. Ini tentu akhirnya membuat bingung. Hal ini tentu kemampuan memaknai pesan dan menjadikan fokus terpecah-pecah. Sehingga akhirnya penentuan untuk menangkap pesan hanya mengandalkan emosi. Cocok yang mana, suka yang mana, bukan lagi mana yang diyakini benar,” tambahnya.

Oleh karena itu Anis mengingatkan bahwa pada dasarnya manusia harus memahami bahwa dia tidak akan pernah bisa menyimpulkan sesuatu secara sempurna. Terlebih di saat komunikasi dan informasi telah banyak yang terkorupsi. Sehingga harus benar-benar bijak dalam bersikap.

Dalam kondisi semacam ini, bahasa sebagai pengantar pesan pun dibuat menjadi tidak memiliki arti apa-apa, simbol-simbol yang dipakainya menjadi tidak pasti semua. Kondisi ini menurut dia, menjadikan model komunikasi kelas ’dupak’ yang jelas dan tegas saja sering tidak juga bisa dipahami.

”Sehingga hampir bisa dikatakan bahwa ini adalah abad kematian bahasa. Salah satu penyebabnya yang tampak jelas di permukaan adalah dominasi politik. Politik hari ini seringkali membuat bahasa kehilangan makna, dan sekadar menjadi sampah,” tambahnya.

Sementara Budi Maryono, budayawan yang juga menjadi pengisi Suluk Maleman juga menyebut sekarang ini banyak polusi bahasa. Saat ini sesuatu yang serius seringkali dianggap guyonan dan begitu sebaliknya.

”Semua pesan susah, nyaris tak tersampaikan. Manipulasi bisa terjadi dimana pun. Apalagi saat kampanye, hati-hati,” tambahnya.

Dia juga menyoroti keberadaan medsos termasuk tiktok yang cukup mengkhawatirkan. Dia melihat banyak orang yang menafsirkan Alquran. Meski tampak meragukan, namun tafsir itu disampaikan dengan begitu meyakinkan. Alhasil banyak yang percaya dan mengikutinya.

”Tak sedikit yang kemudian merasa paling benar. Padahal hal itu akan memunculkan ego dan kesombongan. Sedang orang sombong tidak akan masuk surga. Kalau tidak di surga tidak ayem. Iblis juga hancur karena sombong. Tentu yang tahu secara terang dan tersembunyi hanya Allah,” tambahnya.

Komentar

Terpopuler