Kisah Pohon Sukun yang Menginspirasi Soekarno Temukan Gagasan Pancasila

Dani Agus
Rabu, 31 Mei 2023 17:45:10


Hari Lahir Pancasila ditetapkan pada tanggal 1 Juni. Pada tanggal 1 Juni 2016, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila sekaligus menetapkannya sebagai hari libur nasional yang berlaku mulai tahun 2017.
Ada alasan kenapa dipilih tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Hal ini terkait dengan pidato yang disampaikan oleh Ir Soekarno (Bung Karno) pada 1 Juni 1945 dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam pidatonya itu, Bung Karno sempat menyampaikan gagasan lima dasar negara.
Baca juga: Hari Lahir Pancasila Diperingati di Ende, Ganjar: Ini Memvisualkan Sejarah
Melansir dari Wikipedia, pada sidang tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Maha Esa.
Gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia yang dikemukakan oleh Bung Karno tersebut kemudian dikenal dengan istilah ”Pancasila”.
Masa persidangan BPUPKI yang pertama ini kemudian dikenang dengan detik-detik lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni ditetapkan dan diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
[caption id="attachment_293193" align="alignleft" width="1890"]

Untuk diketahui, konsep atau gagasan lima sila yang disampaikan Bung Karno itu bukan hadir secara tiba-tiba. Namun melalui proses panjang, yakni sejak Bung Karno diasingkan selama empat tahun oleh Belanda ke Pulau Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, terhitung mulai 14 Januari 1934.
Selama pembuangan di Pulau Ende, Bung Karno tidak sendiri. Pendiri PNI itu ditemani sang istri, Inggit Garnasih serta ibu mertua (Ibu Amsi) dan anak angkatnya, Ratna Djuami.
Satu-satunya barang berharga yang dibawa Bung Karno adalah sekeranjang buku. Mereka tiba di rumah tahanan yang terletak di Kampung Ambugaga, Ende, pada 14 Januari 1934.
Melansir dari Kompas.com, kehidupan Bung Karno dan keluarga di Ende serba sederhana dan jauh dari hiruk-pikuk politik seperti di kota besar. Dibuangnya Soekarno ke daerah terpencil dengan penduduk berpendidikan rendah memang sengaja dilakukan Belanda untuk memutus hubungan Soekarno dengan para loyalisnya.
Dikutip dari buku ”Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara", Soekarno jadi lebih banyak berpikir daripada sebelumnya. Dia mulai mempelajari lebih jauh soal agama Islam hingga belajar soal pluralisme dengan bergaul bersama pastor-pastor di Ende.
Tak banyak yang bisa dilakukan Bung Karno di tempat pengasingan yang begitu jauh dari Ibu Kota itu. Sehari-hari, Bung Karno memilih berkebun dan membaca. Untuk membunuh kebosanannya dengan aktivitas yang monoton itu, jiwa seni Bung Karno kembali tumbuh.
Dia mulai melukis hingga menulis naskah drama pementasan. Di sela kegiatan seninya, Bung Karno berkirim surat dengan tokoh Islam di Bandung bernama TA Hassan dan berdiskusi cukup sering dengan pastor Pater Huijtink.
Dari sinilah Bung Karno menjadi lebih relijius dan memaknai keberagaman secara lebih dalam. Sebuah tempat favoritnya untuk berkontemplasi adalah di bawah pohon sukun bercabang lima yang menghadap langsung ke Pantai Ende. Pohon sukun itu berjarak 700 meter dari kediaman Bung Karno.
Biasanya, Bung Karno pergi sendiri ke tempat itu pada Jumat malam. Di tempat itulah, Bung Karno mengaku buah pemikiran Pancasila tercetus. Ia memiliki cerita sendiri soal itu.
Berikut yang dikisahkan Soekarno: ”Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari... Di sana, dengan pemandangan laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung.., di sanalah aku duduk termenung berjam-jam.
Aku memandangi samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang surut, namun ia tetap menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir.
Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudra luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada.”
Ketika menjadi Presiden pertama Indonesia, Bung Karno kembali mengunjungi Ende pada tahun 1950. Bung Karno tidak lupa pada pohon sukun favoritnya itu. Di sanalah Bung Karno bercerita proses pencetusan Pancasila yang kini ditetapkan sebagai dasar negara.
Sejak tahun 1980-an, pohon sukun itu kemudian dikenal menjadi Pohon Pancasila. Namun, pohon aslinya sudah mati pada tahun 1970-an. Pemerintah setempat menggantinya dengan anakan pohon yang sama di lokasi yang sama.
Tempat menemukan gagasan Pancasila itu sekarang dibuat sebagai Taman Renungan Bung Karno. Melansir dari laman Kemdikbud, lokasinya terletak di Kelurahan Rukun Lima, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, NTT. Berdasarkan usulan penetapan luas lahan taman renungan Bung Karno ialah 52 m x 52 m = 2.704 m2, yang dikelola oleh Pemkab Ende.
Dengan batas-batas di sebelah utara Taman Remaja, sebelah selatan lapangan Ende (alun-alun) yang sekarang disebut lapangan Pancasila. Di taman renungan ini terdapat pohon sukun dan taman remaja dalam satu areal.
Berkenaan dengan hal tersebut masyarakat Ende menganggap Ende adalah tempat menggali ilham kelima butir-butir Pancasila sebagai dasar negara. Di bumi Flores, tepatnya di Ende, Bung Karno menemukan penjelmaan kongkrit dari idenya tentang dasar dan tujuan yang berfungsi sebagai pemersatu Bangsa Indonesia yang majemuk.
Editor: Ali Muntoha