Jumat, 17 Januari 2025

Dwi Rahayu, 23 Tahun Abdikan Diri Untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Annisa Rizky Madina
Rabu, 29 Mei 2024 20:14:00
Dwi Rahayu, 23 Tahun Abdikan Diri Untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Dwi Rahayu (48 tahun), guru SLB C (tunagrahita) saat kegiatan pembelajaran di kelas 12 SMA LB Purwosari. (Murianews/Istimewa/Dok Pribadi)

Murianews, Kudus — Dwi Rahayu (48) menceritakan kisahnya menjadi seorang guru Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan mata berkaca-kaca. Dengan penuh rasa haru, guru di SLB Purwosari, Kudus, ini menceritakan 23 tahun perjalanan karirnya sebagai guru.

”Tahun 2001 saya menjadi guru tidak tetap di SLB Cendono. Itu awal karir saya menjadi seorang guru,” demikian pengakuannya kepada Murianews.com, Rabu (29/5/2024).

Perempuan kelahiran Klaten, 1975 itu, kini mengajar di kelas 12 Sekolah Luar Biasa Tuna Grahita (SLB C) Purwosari Kudus. Dirinya merupakan lulusan 1997, Pendidikan Luar Biasa di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tidak terasa dirinya telah mengajar anak-anak penyandang disabilitas atau anak berkebutuhan khusus selama 23 tahun.

”Awal Januari 2004 saya mulai mengajar di SLB Purwosari. Dulu sekolah ini masih berupa kelas rendah (SD). Jadi hanya ada kelas 1-6. Saya mengajar di semua kelas,” katanya.

Tak pernah patah semangat dalam mendidik, Dwi menyebutkan bahwa ia juga sempat mengajar di semua jenjang tingkat pendidikan. Mulai dari Sekolah Dasar Luar Biasa (SD LB) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA LB).

”Tahun 2016, di sini mulai jadi SLB karena ikut Provinsi. Semenjak itu berjenjang mulai ada tingkat SMP dan SMA. Sejak mulai ada jenjang SMP, saya ngajar di SMP. Waktu ada jenjang SMA, saya langsung ngajar SMA. Semuanya saya pernah ngajar,” katanya.

Meskipun berasal dari lulusan Pendidikan Luar Biasa, Dwi mengatakan bahwa ia pernah sempat merasa bingung ketika pertama kali terjun sebagai seorang guru di SLB. Sebab menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus membutuhkan pendekatan yang sama sekali berbeda.

”Saya mengajar di kelas tunagrahita, yaitu anak-anak dengan hambatan intelektual. Jadi harus selalu sabar waktu mengajar, karena materi harus selalu diulang-ulang,” jelasnya.

Dwi menuturkan bahwa ia perlu mengulangi materi pelajaran setelah masa liburan. Karena, untuk anak tunagrahita, mereka cenderung sering lupa. Sehingga materi perlu diulang-ulang supaya dapat diingat kembali oleh siswa.

”Untuk di kelas tinggi (SMA), mereka sudah bisa membaca. Tapi terkadang masih belum memahami apa yang dibaca. Maka guru harus menjelaskan ulang pada siswa supaya mereka paham maksudnya,” kata Dwi menambahkan.

Ia mengungkapkan, selama 23 tahun mengajar di SLB Purwosari, ia kerap ditugaskan untuk mengajar SLB C (tunagrahita) diberbagai tingkat kelas. Mulai dari tingkat SD, SMP, bahkan hingga SMA.

Dengan mata berkaca-kaca, guru wanita ini menuturkan bahwa dirinya sangat bahagia bisa mendidik para anak berkebutuhan khusus. Sebab, membantu mereka untuk menjadi mandiri merupakan salah satu pencapaian yang begitu besar.

”Saya menikmati tiap waktunya. Karena saya senang bisa ngajar anak berkebutuhan khusus. Senang bisa mendidik, membimbing, dan itu kebahagiaan tersendiri buat saya. Dari tidak bisa apa-apa, jadi bisa membaca, mengenal suku kata. Saya yakin, kita pasti bisa kalau benar-benar sabar menghadapi mereka,” tutupnya.

Editor: Budi Santoso

Komentar

Terpopuler