Jepara yang menjadi tempat lahir bertumbuh Kartini selama lebih dari 22 tahun, mungkin agak tidak beruntung terkait peninggalan memorabilia RA Kartini. Sejak menikah dengan Bupati Rembang, sebagian besar barang-barangnya dibawa ke Rembang.
Inilah yang membuat Jepara pada akhirnya tidak banyak memiliki memorabilia peninggalan RA Kartini. Museum Kartini Jepara, saat ini hanya bisa menyimpan sedikit dari memorabilia Kartini.
Sebuah aksi kerusuhan pada 1998 telah membuat Museum Kartini yang dulu masih berada di kompleks Pedopo Kabupaten Jepara, juga turut andil membuat susutnya memorabilia Kartini untuk Jepara. Banyak benda berharga peninggalan Kartini yang dikabarkan terbakar pada kerusuhan tersebut.
Koleksi memorabilia Kartini di Museum Kartini, harus diakui sangat minim jika dibandingkan dengan masa kehidupan Kartini yang lama berada di Jepara. Rumah keluarga Kartini di Mayong, juga sudah tidak terjejak lagi.
Kartini hanya meninggalkan sejumlah barang yang tersimpan di Museum Kartini, monumen Ari-Ari di Mayong, dan kompleks Pendopo Kabupaten Jepara. Selebihnya banyak benda yang justru berada di Rembang, kota yang hanya satu tahun disinggahinya.
Rembang sendiri nampaknya juga sangat serius dalam memanfaatkan Kartini sebagai ikon wilayahnya. Pemkab Rembang bahkan menjadikan Pendopo Kabupaten mereka menjadi Museum Kartini.
Tempat ini adalah bangunan dimana Kartini tinggal selama kurang lebih setahun sejak menikah dengan Bupati Rembang. Banyak benda memorabilia yang tersimpan di bangunan ini.
Semua benda-benda tersebut sangat dekat dengan Kartini, karena merupakan barang-barang yang biasa digunakan sehari-hari. Keputusan menjadikan Pendopo Kabupaten Rembang menjadi Museum mungkin menjadi salah satu langkah maju dibanding Pemkab Jepara.
Pemkab Jepara sendiri sampai saat ini masih menjadikan Pendopo Kabupaten sebagai Rumah Dinas Bupati. Jika dibandingkan, barangkali Pendopo Kabupaten Jepara lebih sangat dekat dengan sosok Kartini.
Begitulah Kartini. Lahir bertumbuh di Jepara, meninggal di Rembang dan kini jadi ‘rebutan’. Dalam konteks ini, perebutan ikon Kartini sangat-sangatlah positif bagi pengembangan nilai-nilai pemikiran Kartini.
Jepara dan Rembang memang dua Kabupaten yang sama-sama memiliki hubungan emosional dengan Kartini. Wajar jika di Jepara ada Jalan Kartini, Pantai Kartini atau Stadion Gelora Bumi Kartini. Pun demikian juga dengan Rembang.
Kartini memang bukan tokoh biasa. Perjuangan dan pemikirannya bahkan diakui oleh dunia. Selamat Hari Kartini ke 145!
Murianews, Kudus – Tanggal kelahiran RA Kartini, 21 April, kini diperingati sebagai Hari Kartini secara nasional. Tokoh emansipasi wanita Indonesia itu lahir tumbuh di Jepara, meninggal di Rembang, dan sebagai sebuah ikon, Kartini jadi rebutan.
RA Kartini (Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat) terlahir sebagai putri priyayi. Tanggal kelahirannya adalah 21 April 1879, di Mayong, Kabupaten, Jepara. Namun tokoh satu ini tidak berumur panjang, karena pada 17 September 1904, atau dalam usia 25 tahun meninggal.
RA Kartini meninggal setelah melahirkan satu-satunya anak, Raden Soesalit. Puteranya ini kelak menjadi salah satu jenderal di dunia kententaraan Republik Indonesia, dengan karir yang juga diselimuti misteri.
Lahir di Mayong, yang saat ini menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Jepara, Kartini tumbuh di tengah zaman yang tidak kondusif bagi perempuan. Kesenjangan gender masih sangat tebal melingkupi kehidupan masyarakat saat itu.
Pengaruh kuat kakaknya RM Sosro Kartono yang moderat adalah percikan awal yang membuka cakrawala pikirnya. Kartini yang tumbuh dalam kungkungan budaya feodal yang kental di lingkungan Kadipaten Jepara tetap bisa melihat dunia dengan pandangan yang lebih luas.
Meski cakrawala pikirnya telah jauh meninggalkan daya pikir perempuan Jawa atau bahkan Hindia Belanda di zaman itu, Kartini nyata-nyata belum mampu mendobraknya secara tuntas. Budaya feodal Jawa membuat dirinya harus mau dinikahi Bupati Rembang, sebagai istri ke-4.
Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903, dengan KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang. Perkawinan ini bisa jadi menjadi sikap kooperatif Kartini terhadap budaya feodal yang masih ada di zaman itu.
Setelah selama 24 tahun tumbuh berkembang di Jepara, maka sejak saat itu Kartini harus mengikuti suaminya di Rembang. Namun usianya tidak panjang, karena setahun berikutnya, atau pada 17 September 1904 Kartini meninggal dunia.
Pendarahan hebat yang dialami Kartini saat melahirkan puteranya Soesalit Djojoadhiningrat, pada tanggal 13 September 1904 membuatnya tidak tertolong. Terbatasnya akses kesehatan di masa itu, membuat nyawa Kartini tidak bisa diselamatkan.
Pada 17 September 1904, atau empat hari setelah melahirkan, Kartini meninggal dunia pada usia 25 tahun. Selanjutnya Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Kini setelah hampir satu abad setengah, Kartini tetap hidup di masyarakat Jepara dan Rembang. Kebesaran Kartini membuat dua kabupaten ini sering menjadikan Kartini sebagai ikon wilayah bagi dua kabupaten ini.
Bahkan ikon Kartini bisa dikatakan kini menjadi rebutan bagi Kabupaten Jepara dan Rembang, sebagai pengungkit semangat masyarakatnya. Baik Jepara maupun Rembang, sama-sama menjadikan Kartini sebagai bagian sejarah kehidupan mereka.
Jepara yang menjadi......
Jepara yang menjadi tempat lahir bertumbuh Kartini selama lebih dari 22 tahun, mungkin agak tidak beruntung terkait peninggalan memorabilia RA Kartini. Sejak menikah dengan Bupati Rembang, sebagian besar barang-barangnya dibawa ke Rembang.
Inilah yang membuat Jepara pada akhirnya tidak banyak memiliki memorabilia peninggalan RA Kartini. Museum Kartini Jepara, saat ini hanya bisa menyimpan sedikit dari memorabilia Kartini.
Sebuah aksi kerusuhan pada 1998 telah membuat Museum Kartini yang dulu masih berada di kompleks Pedopo Kabupaten Jepara, juga turut andil membuat susutnya memorabilia Kartini untuk Jepara. Banyak benda berharga peninggalan Kartini yang dikabarkan terbakar pada kerusuhan tersebut.
Koleksi memorabilia Kartini di Museum Kartini, harus diakui sangat minim jika dibandingkan dengan masa kehidupan Kartini yang lama berada di Jepara. Rumah keluarga Kartini di Mayong, juga sudah tidak terjejak lagi.
Kartini hanya meninggalkan sejumlah barang yang tersimpan di Museum Kartini, monumen Ari-Ari di Mayong, dan kompleks Pendopo Kabupaten Jepara. Selebihnya banyak benda yang justru berada di Rembang, kota yang hanya satu tahun disinggahinya.
Rembang sendiri nampaknya juga sangat serius dalam memanfaatkan Kartini sebagai ikon wilayahnya. Pemkab Rembang bahkan menjadikan Pendopo Kabupaten mereka menjadi Museum Kartini.
Tempat ini adalah bangunan dimana Kartini tinggal selama kurang lebih setahun sejak menikah dengan Bupati Rembang. Banyak benda memorabilia yang tersimpan di bangunan ini.
Semua benda-benda tersebut sangat dekat dengan Kartini, karena merupakan barang-barang yang biasa digunakan sehari-hari. Keputusan menjadikan Pendopo Kabupaten Rembang menjadi Museum mungkin menjadi salah satu langkah maju dibanding Pemkab Jepara.
Pemkab Jepara sendiri sampai saat ini masih menjadikan Pendopo Kabupaten sebagai Rumah Dinas Bupati. Jika dibandingkan, barangkali Pendopo Kabupaten Jepara lebih sangat dekat dengan sosok Kartini.
Begitulah Kartini. Lahir bertumbuh di Jepara, meninggal di Rembang dan kini jadi ‘rebutan’. Dalam konteks ini, perebutan ikon Kartini sangat-sangatlah positif bagi pengembangan nilai-nilai pemikiran Kartini.
Jepara dan Rembang memang dua Kabupaten yang sama-sama memiliki hubungan emosional dengan Kartini. Wajar jika di Jepara ada Jalan Kartini, Pantai Kartini atau Stadion Gelora Bumi Kartini. Pun demikian juga dengan Rembang.
Kartini memang bukan tokoh biasa. Perjuangan dan pemikirannya bahkan diakui oleh dunia. Selamat Hari Kartini ke 145!