Murianews, Kudus – Tentara Nasional Indonesia atau disingkat TNI adalah nama untuk angkatan bersenjata dari negara Indonesia. Tentara Nasional Indonesia (TNI) memasuki usianya yang ke-78 tahun pada tahun 2023. Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) TNI diperingati setiap tanggal 5 Oktober.
Hingga usianya yang ke-78 hanya ada tiga orang yang menyandang pangkat jenderal besar atau bintang lima. Jenderal besar adalah pangkat tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang perwira TNI Angkatan Darat hingga pangkat ini dihapus dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010. Pemberian pangkat ini hanya untuk perwira-perwira yang sangat berjasa. Pangkat ini ditandai dengan lima bintang emas di pundak.
Melansir dari Wikipedia, dalam sejarah TNI Angkatan Darat, hanya terdapat 3 orang yang diberi kehormatan menggunakan pangkat ini atas jasa-jasanya yang sangat besar. semuanya diberi pangkat ini dalam rangka perayaan HUT 52 tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI) pada tahun 1997. Mereka adalah:
1. Jenderal Besar TNI Soedirman
Jenderal Besar TNI (Anumerta) Raden Soedirman (24 Januari 1916 – 29 Januari 1950) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Sebagai Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia adalah sosok yang dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi.
Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi. Soedirman sangat dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam.
Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar.
Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, hingga kemudian diasingkan ke Bogor.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut.
Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa.
Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati – yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia.
Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.
2. Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution
Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution (3 Desember 1918 – 6 September 2000) adalah seorang jenderal berpangkat tinggi dan politikus Indonesia. Ia bertugas di militer selama Revolusi Nasional Indonesia dan ia tetap di militer selama gejolak berikutnya dari demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin.
Setelah jatuhnya Presiden Soekarno dari kekuasaan, ia menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) di bawah presiden Soeharto. Lahir dari keluarga Batak Mandailing, di desa Hutapungkut, ia belajar mengajar dan mendaftar di akademi militer di Bandung.
Ia menjadi anggota Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), tetapi setelah invasi Jepang, ia bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA). Setelah proklamasi kemerdekaan, ia mendaftar di angkatan bersenjata Indonesia yang masih muda, dan bertempur selama Revolusi Nasional Indonesia. Pada tahun 1946, ia diangkat menjadi komandan Divisi Siliwangi, unit gerilya yang beroperasi di Jawa Barat. Setelah revolusi nasional berakhir, ia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, sampai ia diskors karena keterlibatannya dalam peristiwa 17 Oktober. Ia diangkat kembali ke posisi itu pada tahun 1955.
Pada tahun 1965, terjadi percobaan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Rumah Nasution diserang, dan putrinya terbunuh, tetapi dia berhasil melarikan diri dengan memanjat tembok dan bersembunyi di kediaman duta besar Irak.
Dalam gejolak politik berikutnya, ia membantu kenaikan Presiden Soeharto, dan diangkat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Ia berselisih dengan Soeharto, yang melihatnya sebagai saingan, dan dia digulingkan dari kekuasaan pada tahun 1971.
Begitu ia dicopot dari posisi kekuasaan, Nasution berkembang menjadi lawan politik Rezim Orde Baru Soeharto. Meskipun ia dan Soeharto mulai berdamai pada 1990-an. Ia meninggal pada 6 September 2000 di Jakarta, setelah menderita strok dan koma. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Nasution merupakan konseptor Dwifungsi ABRI yang disampaikan pada tahun 1958 yang kemudian diadopsi selama pemerintahan Soeharto. Konsep dasar yang ditawarkan tersebut merupakan jalan agar ABRI tidak harus berada di bawah kendali sipil, tetapi pada saat yang sama tidak boleh mendominasi sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.
Bersama Soeharto dan Soedirman, Nasution menerima pangkat kehormatan Jenderal Besar yang dianugerahkan pada tanggal 5 Oktober 1997, saat ulang tahun ABRI.
3. Jenderal Besar TNI Soeharto
Jenderal Besar TNI (Purn) HM Soeharto (8 Juni 1921 – 27 Januari 2008) adalah Presiden kedua Indonesia yang menjabat dari tahun 1967 sampai 1998, menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer ”The Smiling General” atau ”Sang Jenderal yang Tersenyum” karena raut mukanya yang senantiasa tersenyum dan menunjukkan keramahan. Meski begitu, dengan berbagai kontroversi yang terjadi, ia sering juga disebut sebagai otoriter bagi yang berseberangan dengannya.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa Hindia Belanda dan Kekaisaran Jepang, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September 1965, Soeharto kemudian melakukan operasi penertiban dan pengamanan atas perintah dari Presiden Soekarno, salah satu yang dilakukannya adalah dengan menumpas Gerakan 30 September dan menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang.
Berbagai kontroversi menyebut operasi ini menewaskan sekitar 100.000 hingga 2 juta jiwa, namun jumlah ini patut dipertanyakan karena korban dari Gerakan 30 September juga banyak.
Soeharto kemudian diberi mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai Presiden pada 26 Maret 1968 menggantikan Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang terlama yang menjabat sebagai presiden Indonesia. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Soeharto juga merupakan sosok yang kontroversial karena membatasi kebebasan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, pemaksaan asas tunggal Pancasila di berbagai bidang, dan disebut sebagai salah satu rezim paling korup dalam sejarah dunia modern. Menurut Transparency International, estimasi kerugian negara adalah sekitar 15–35 miliar dolar Amerika Serikat selama pemerintahannya.
Namun, hal ini tidak berhasil dibuktikan, bahkan Majalah Time kalah dalam gugatan dan usaha lain untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.



