Menengok Kesakralan Kamar Pingitan RA Kartini di Jepara
Faqih Mansur Hidayat
Jumat, 19 Januari 2024 14:25:00
Murianews, Jepara – Sebagai perempuan Jawa, RA Kartini pernah merasakan tradisi pingitan. Itu dilakoninya saat tamat sekolah dan akan dipersunting Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang.
Hingga kini, kamar pingitan yang digunakan RA Kartini melakoni masa itu masih terjaga. Kamar pingitan itu berukuran 12 meter persegi. Lokasinya berada di belakang, sebelum serambi belakang, atau tepatnya, di depan kamar Bupati Jepara.
Balutan warna kuning kecokelatan dan lampu berwarna kuning membuat suasana ruangan ini terasa mistis. Ruangan ini memang sangat sakral. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangan ini.
Di dalam ruangan, terdapat dipan kuno dengan ukuran bermotif khas Jepara. Di atasnya terdapat kotak perhiasan, kotak untuk menyimpan surat dan kotak untuk menyimpan alat jahit manual.
Di depan dipan, terdapat meja dan kursi. Di meja itulah, Kartini menuliskan kisah-kisah dan gagasannya untuk dikirimkan pada sahabat penanya di Belanda.
Di dinding terdapat foto-foto berpigura ukir RA Kartini, adik-adiknya dan ibunya. Semua ornamen berbalut ukiran khas Jepara. Ada pula alat membatik lengkap.
Dari dalam kamar pingitan itu, RA Kartini kemudian dikenal dan dikenang sebagai pahlawan nasional. Pahlawan nasional kelahiran 21 April 1879 itu harus rela meninggalkan masa kecilnya yang suka belajar dan haus ilmu pengetahuan.
Ia sempat belajar di Sekolah Kelas II Belanda. Ia juga belajar Bahasa Jawa, memasak, menjahit, dan agama. Di usia 12 tahun, Kartini menamatkan pendidikan sekolah dasarnya. Ia lalu menjalani masa pingitan.
Di masa itu, hidupnya berubah. Ia kesepian karena tak bisa melanjutkan pendidikan. Sementara keluarganya memegang teguh adat lama dan tak mendukung Kartini untuk kembali bersekolah.
Masa pingitannya berakhir saat Kartini berusia 24 tahun. Namun, ia harus kembali melewati perubahan. Sebab, ia dinikahkan dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat. Kartini kemudian dibawa ke Rembang untuk menjalani hidup di sana.
Meski begitu, kegigihan Kartini dalam menuliskan gagasan-gagasannya tak pernah padam. Ia menulis surat pada teman-temannya di Belanda untuk membantu mengangkat derajat perempuan Indonesia.
Pada 13 September 1904, Kartini melahirkan putranya yang dinamakan Soesalit Djojoadhiningrat. Namun, empat hari menikmati masa-masanya sebagai ibu, Kartini meninggal. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Keteguhan Kartini yang tertulis dalam surat-suratnya menarik perhatian JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun 1900-1905. Abendanon lalu mengumpulkan dan membukukan surat-surat Kartini.
Buku itu kemudian diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” yang berarti ”Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911.
Lalu pada 1922, Balai Pustaka menerbitkan buku itu dalam versi bahasa Melayu. Judul buku diterjemahkan menjadi ”Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran”.
Editor: Zulkifli Fahmi