MURIANEWS, Semarang – Ada banyak tempat wisata religi yang terdapat di Kota Semarang, Jawa Tengah. Salah satu yang cukup populer adalah
Klenteng Sam Poo Kong.
Melansir dari visitjawatengah.jatengprov.go.id, klenteng ini juga dikenal sebagai Klenteng Gedung Batu, adalah klenteng Cina tertua di Semarang, ibukota provinsi Jawa Tengah. Bangunan ini meliputi area seluas 1.020 meter persegi dan dipengaruhi oleh gaya arsitektur Cina dan Jawa abad ke-14.
Klenteng ini dicat dengan warna merah yang megah dan dimahkotai dengan atap pagoda berlapis tiga, khas budaya Asia Timur. Pondasi klenteng pertama kali dibangun oleh Laksamana Cheng Ho, seorang penjelajah Muslim dari Cina Daratan.
Baca juga: Liburan Imlek di Semarang, Empat Kelenteng Ini Bisa Anda KunjungiSetelah beberapa waktu, Cheng Ho meninggalkan Jawa, tetapi banyak krunya memutuskan untuk tetap tinggal dan menetap di daerah itu. Mereka menikah dengan penduduk setempat, dan sampai sekarang, Simongan dihuni oleh keturunan Cina.
Pada 1704, kuil dan gua yang asli runtuh karena tanah longsor. Masyarakat setempat membangunnya kembali 20 tahun kemudian di lokasi yang berbeda, lebih dekat ke pusat kota dan lebih jauh dari daerah yang cenderung mengalami pembusukan oleh unsur-unsur alami. Itu berfungsi baik sebagai tempat ibadah, dan tempat suci menghormati Cheng Ho untuk jasanya kepada masyarakat.
Sejarah Klenteng Agung Sam Poo Kong SemarangMelansir dari sampookong.co.id, Laksamana Zheng He (Cheng Ho) terlahir dengan nama Ma San Bao. Itulah mengapa klenteng / tempat petilasan untuk Zheng He menggunakan nama Sam Poo Kong. Dalam dialek Hokkian, Sam Poo Kong atau San Bao Dong (Mandarin) artinya adalah gua San Bao.
Asal muasal Klenteng Agung Sam Poo Kong adalah ketika armada Zheng He merapat di pantai Simongan – Semarang karena juru mudinya, Wang Jing Hong sakit keras. Sebuah gua batu dijadikan tempat beristirahat Zheng He dan mengobati Wang Jing Hong. Sementara juru mudinya menyembuhkan diri, Zheng He melanjutkan pelayaran ke Timur untuk menuntaskan misi perdamaian dan perdagangan keramik serta rempah-rempah.
Selama di Simongan, Wang memimpin anak buahnya menggarap lahan, membangun rumah dan bergaul dengan penduduk setempat. Lingkungan sekitar gua jadi berkembang dan makmur karena aktivitas dagang maupun pertanian. Demi menghormati pimpinannya, Wang mendirikan patung Zheng He di gua batu tersebut untuk dihormati dan dikenang masyarakat sekitar. Inilah asal muasal dibangunnya Klenteng Sam Poo Kong di Semarang.
Wang meninggal pada usia 87 tahun dan dimakamkan di sekitar situ. Sejak itu masyarakat menyebutnya sebagai Makam Kyai Juru Mudi. Ketika gua batu runtuh akibat longsor, masyarakat membangun gua buatan yang letaknya bersebelahan dengan Makam Kyai Juru Mudi.
Dalam perjalanannya, Klenteng Agung Sam Poo Kong sudah beberapa kali menjalani pemugaran. Selain karena situasi politik yang tidak menentu pasca kemerdekaan, banjir merupakan masalah utama yang dihadapi Klenteng Agung Sam Poo Kong. Revitalisasi besar-besaran dilakukan oleh Yayasan Sam Poo Kong pada Januari 2002. Pemugaran selesai pada Agustus 2005, bersamaan dengan perayaan 600 tahun kedatangan Laksamana Zheng He di pulau Jawa. Peresmian dihadiri oleh Menteri Perdagangan Indonesia – Mari Elka Pangestu datang ke Klenteng Agung Sam Poo Kong dan Gubernur Jawa Tengah – H. Mardiyanto.
Bangunan yang Ada di Klenteng Sam Poo KongTempat Pemujaan Dewa BumiDi dalam satu klenteng, selain dewa tuan rumah pasti ada Dewa Bumi. Umat biasanya berdoa kepada Tian (Tuhan / langit) lalu kepada Tei (dewa bumi). Dewa Bumi atau Hok Tek Ceng Sin merupakan dewa rezeki dan berkah.
Awalnya umat berdoa kepada Dewa Bumi untuk meminta kesuburan tanah, hasil panen yang berlimpah dan bebas hama. Tapi tidak menutup kemungkinan, umat juga bisa meminta kesehatan, keselamatan, dagangan laris, hidup damai dan makmur kepada Dewa Bumi.
Dewa Bumi memiliki pengawal berupa macan hitam yang namanya Houw Ciang Kun. Di depan tempat Dewa Bumi, ada penjaga pintu yang bernama Ue Tek Kiong dan Sie Siok Po Kelahiran Hok Tek Ceng Sin dirayakan setiap tanggal 2 bulan 2 kalender Tionghoa.
Sementara setiap tanggal 15 bulan 8 kalendar Tionghoa dirayakan sebagai hari ucapan terima kasih untuk Hok Tek Ceng Sin. Umat akan memberikan kue rembulan sebagai ucapan syukur atas hasil panen yang berlimpah dan rezeki sepanjang tahun kemarin.
Makam Kyai Juru Mudi
Nahkoda armada Zheng He yang bernama Ong Keng Hong / Wang Jing Hong saat datang ke Pulau Jawa untuk kedua kalinya mendadak jatuh sakit. Dikarenakan sakit keras, ia tidak bisa melanjutkan perjalanan dan harus beristirahat di Semarang untuk mendapat pengobatan.Setelah sembuh, Wang memilih untuk tetap tinggal di Simongan dan bergaul dengan penduduk setempat. Ia menggarap lahan dan membangun rumah. Berkat jerih payahnya, lingkungan sekitar gua jadi berkembang dan makmur.Wang Jing Hong meninggal pada usia 87 tahun dan dimakamkan di samping gua Sam Poo Kong. Makam tersebut dikenal dengan sebutan Makam Kyai Juru Mudi. Sejak itu penduduk kota Semarang dan sekitarnya sering datang ke sini untuk berziarah atau berdoa meminta berkah. Khususnya setiap malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon.
Tempat Pemujaan Sam Poo Kong / Sam Poo Tay DjienDi sinilah tempat utama bagi umat yang ingin sembahyang pada Sam Poo Kong. Dinding luar gedung dihiasi oleh relief batu yang menceritakan kisah perjalanan Laksamana Zheng He selama kurang lebih 30 tahun di abad ke-15. Bebatuan yang digunakan untuk relief ini berasal dari Tiongkok. Sementara ukirannya dikerjakan oleh seniman Bali.Di dalamnya barulah ada tempat sembahyang. Ada dua patung kecil yang menjadi simbol kedatangan Zheng He ke Semarang. Patung pertama berwajah hitam terbuat dari kayu cendana, melambangkan kedatangan pertama Zheng He pada tahun 1406. Saat itu ia masih muda, sekitar 30 – 40 tahun.Patung kedua berwajah merah terbuat dari porselen, melambangkan kedatangan kedua Zheng He pada tahun 1416. Wajahnya sudah lebih tua. Di kiri kanannya ada patung tay jiang atau pengawal pribadi Zheng He. Namanya, Tio Kee dan Lauw Im. Patungnya terbuat dari kayu cendana juga.Sementara itu ada satu patung besar Sam Poo Kong di tengah-tengah. Bahannya terbuat dari emas dan perunggu. Patung besar ini hanya sekedar simbol. Namun yang memiliki nilai penting justru kedua patung kecil tersebut.Di dalam Gedung Batu ini juga ada sumur berisi mata air. Sumur ini sendiri sebenarnya merupakan peninggalan Oey Tiong Ham. Air ini dianggap suci dan kerap dimanfaatkan oleh umat maupun pengunjung yang ingin minta rezeki dalam berdagang, bertani, kesembuhan dari sakit, air siraman supaya pernikahannya lancar dan langgeng.Air ini tidak boleh digunakan untuk sumpah, perceraian atau air minum. Umat dan pengunjung diperbolehkan mengambil air dari sumur dengan asistensi Bio Kong. Sebelumnya umat dan pengunjung harus menjelaskan keperluannya terlebih dulu agar air tersebut dapat didoakan oleh Bio Kong.
Makam Kyai Djangkar, Tempat Pemujaan Kong Hu Cu & Rumah Arwah Hoo PingDi gedung ini ada tiga tempat pemujaan sekaligus. Paling kiri ada Makam Kyai Djangkar. Dinamakan seperti itu karena di sinilah letak jangkar sekoci yang jatuh ketika armada Zheng He pertama datang ke Pulau Jawa.Jangkar sekoci ini pertama kali ditemukan di Kali Kuping. Sedangkan jangkar kapal utama jatuh di Rembang. Banyak orang yang datang ke Makam Kyai Djangkar untuk meminta berkah baik untuk usaha maupun kerja.Di tengah, ada tempat pemujaan untuk pendiri agama Kong Hu Cu. Posisinya mengambil porsi paling besar. Kemudian di sisi paling kanan ada Rumah Arwah Hoo Ping. Arwah Hoo Ping adalah arwah orang meninggal yang tidak dirawat oleh keluarganya. Mereka ditampung di sini untuk didoakan. Arwah Hoo Ping diperingati tiga kali dalam setahun: sehari sebelum Imlek, saat Ceng Beng dan saat upacara Ulambama (Jit Gwee).
Tempat Nyai Cundrik BumiDulunya, area ini dijadikan tempat penyimpanan dan perawatan pusaka. Di sini juga merupakan tempat goa lama berada sebelum dipindahkan karena longsor. Sekarang di sini hanya menjadi simbolisasi saja. Sudah tidak ada lagi pusaka yang tersisa di sini. Penulis: Dani AgusEditor: Dani AgusSumber: visitjawatengah.jatengprov.go.id,
sampookong.co.id
[caption id="attachment_313960" align="alignleft" width="1890"]

Foto: Klenteng Sam Poo Kong di Kota Semarang (wikipedia.org)[/caption]
MURIANEWS, Semarang – Ada banyak tempat wisata religi yang terdapat di Kota Semarang, Jawa Tengah. Salah satu yang cukup populer adalah
Klenteng Sam Poo Kong.
Melansir dari visitjawatengah.jatengprov.go.id, klenteng ini juga dikenal sebagai Klenteng Gedung Batu, adalah klenteng Cina tertua di Semarang, ibukota provinsi Jawa Tengah. Bangunan ini meliputi area seluas 1.020 meter persegi dan dipengaruhi oleh gaya arsitektur Cina dan Jawa abad ke-14.
Klenteng ini dicat dengan warna merah yang megah dan dimahkotai dengan atap pagoda berlapis tiga, khas budaya Asia Timur. Pondasi klenteng pertama kali dibangun oleh Laksamana Cheng Ho, seorang penjelajah Muslim dari Cina Daratan.
Baca juga: Liburan Imlek di Semarang, Empat Kelenteng Ini Bisa Anda Kunjungi
Setelah beberapa waktu, Cheng Ho meninggalkan Jawa, tetapi banyak krunya memutuskan untuk tetap tinggal dan menetap di daerah itu. Mereka menikah dengan penduduk setempat, dan sampai sekarang, Simongan dihuni oleh keturunan Cina.
Pada 1704, kuil dan gua yang asli runtuh karena tanah longsor. Masyarakat setempat membangunnya kembali 20 tahun kemudian di lokasi yang berbeda, lebih dekat ke pusat kota dan lebih jauh dari daerah yang cenderung mengalami pembusukan oleh unsur-unsur alami. Itu berfungsi baik sebagai tempat ibadah, dan tempat suci menghormati Cheng Ho untuk jasanya kepada masyarakat.
Sejarah Klenteng Agung Sam Poo Kong Semarang
Melansir dari sampookong.co.id, Laksamana Zheng He (Cheng Ho) terlahir dengan nama Ma San Bao. Itulah mengapa klenteng / tempat petilasan untuk Zheng He menggunakan nama Sam Poo Kong. Dalam dialek Hokkian, Sam Poo Kong atau San Bao Dong (Mandarin) artinya adalah gua San Bao.
Asal muasal Klenteng Agung Sam Poo Kong adalah ketika armada Zheng He merapat di pantai Simongan – Semarang karena juru mudinya, Wang Jing Hong sakit keras. Sebuah gua batu dijadikan tempat beristirahat Zheng He dan mengobati Wang Jing Hong. Sementara juru mudinya menyembuhkan diri, Zheng He melanjutkan pelayaran ke Timur untuk menuntaskan misi perdamaian dan perdagangan keramik serta rempah-rempah.
Selama di Simongan, Wang memimpin anak buahnya menggarap lahan, membangun rumah dan bergaul dengan penduduk setempat. Lingkungan sekitar gua jadi berkembang dan makmur karena aktivitas dagang maupun pertanian. Demi menghormati pimpinannya, Wang mendirikan patung Zheng He di gua batu tersebut untuk dihormati dan dikenang masyarakat sekitar. Inilah asal muasal dibangunnya Klenteng Sam Poo Kong di Semarang.
Wang meninggal pada usia 87 tahun dan dimakamkan di sekitar situ. Sejak itu masyarakat menyebutnya sebagai Makam Kyai Juru Mudi. Ketika gua batu runtuh akibat longsor, masyarakat membangun gua buatan yang letaknya bersebelahan dengan Makam Kyai Juru Mudi.
Dalam perjalanannya, Klenteng Agung Sam Poo Kong sudah beberapa kali menjalani pemugaran. Selain karena situasi politik yang tidak menentu pasca kemerdekaan, banjir merupakan masalah utama yang dihadapi Klenteng Agung Sam Poo Kong. Revitalisasi besar-besaran dilakukan oleh Yayasan Sam Poo Kong pada Januari 2002. Pemugaran selesai pada Agustus 2005, bersamaan dengan perayaan 600 tahun kedatangan Laksamana Zheng He di pulau Jawa. Peresmian dihadiri oleh Menteri Perdagangan Indonesia – Mari Elka Pangestu datang ke Klenteng Agung Sam Poo Kong dan Gubernur Jawa Tengah – H. Mardiyanto.
Bangunan yang Ada di Klenteng Sam Poo Kong
Tempat Pemujaan Dewa Bumi
Di dalam satu klenteng, selain dewa tuan rumah pasti ada Dewa Bumi. Umat biasanya berdoa kepada Tian (Tuhan / langit) lalu kepada Tei (dewa bumi). Dewa Bumi atau Hok Tek Ceng Sin merupakan dewa rezeki dan berkah.
Awalnya umat berdoa kepada Dewa Bumi untuk meminta kesuburan tanah, hasil panen yang berlimpah dan bebas hama. Tapi tidak menutup kemungkinan, umat juga bisa meminta kesehatan, keselamatan, dagangan laris, hidup damai dan makmur kepada Dewa Bumi.
Dewa Bumi memiliki pengawal berupa macan hitam yang namanya Houw Ciang Kun. Di depan tempat Dewa Bumi, ada penjaga pintu yang bernama Ue Tek Kiong dan Sie Siok Po Kelahiran Hok Tek Ceng Sin dirayakan setiap tanggal 2 bulan 2 kalender Tionghoa.
Sementara setiap tanggal 15 bulan 8 kalendar Tionghoa dirayakan sebagai hari ucapan terima kasih untuk Hok Tek Ceng Sin. Umat akan memberikan kue rembulan sebagai ucapan syukur atas hasil panen yang berlimpah dan rezeki sepanjang tahun kemarin.
Makam Kyai Juru Mudi
Nahkoda armada Zheng He yang bernama Ong Keng Hong / Wang Jing Hong saat datang ke Pulau Jawa untuk kedua kalinya mendadak jatuh sakit. Dikarenakan sakit keras, ia tidak bisa melanjutkan perjalanan dan harus beristirahat di Semarang untuk mendapat pengobatan.
Setelah sembuh, Wang memilih untuk tetap tinggal di Simongan dan bergaul dengan penduduk setempat. Ia menggarap lahan dan membangun rumah. Berkat jerih payahnya, lingkungan sekitar gua jadi berkembang dan makmur.
Wang Jing Hong meninggal pada usia 87 tahun dan dimakamkan di samping gua Sam Poo Kong. Makam tersebut dikenal dengan sebutan Makam Kyai Juru Mudi. Sejak itu penduduk kota Semarang dan sekitarnya sering datang ke sini untuk berziarah atau berdoa meminta berkah. Khususnya setiap malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon.
Tempat Pemujaan Sam Poo Kong / Sam Poo Tay Djien
Di sinilah tempat utama bagi umat yang ingin sembahyang pada Sam Poo Kong. Dinding luar gedung dihiasi oleh relief batu yang menceritakan kisah perjalanan Laksamana Zheng He selama kurang lebih 30 tahun di abad ke-15. Bebatuan yang digunakan untuk relief ini berasal dari Tiongkok. Sementara ukirannya dikerjakan oleh seniman Bali.
Di dalamnya barulah ada tempat sembahyang. Ada dua patung kecil yang menjadi simbol kedatangan Zheng He ke Semarang. Patung pertama berwajah hitam terbuat dari kayu cendana, melambangkan kedatangan pertama Zheng He pada tahun 1406. Saat itu ia masih muda, sekitar 30 – 40 tahun.
Patung kedua berwajah merah terbuat dari porselen, melambangkan kedatangan kedua Zheng He pada tahun 1416. Wajahnya sudah lebih tua. Di kiri kanannya ada patung tay jiang atau pengawal pribadi Zheng He. Namanya, Tio Kee dan Lauw Im. Patungnya terbuat dari kayu cendana juga.
Sementara itu ada satu patung besar Sam Poo Kong di tengah-tengah. Bahannya terbuat dari emas dan perunggu. Patung besar ini hanya sekedar simbol. Namun yang memiliki nilai penting justru kedua patung kecil tersebut.
Di dalam Gedung Batu ini juga ada sumur berisi mata air. Sumur ini sendiri sebenarnya merupakan peninggalan Oey Tiong Ham. Air ini dianggap suci dan kerap dimanfaatkan oleh umat maupun pengunjung yang ingin minta rezeki dalam berdagang, bertani, kesembuhan dari sakit, air siraman supaya pernikahannya lancar dan langgeng.
Air ini tidak boleh digunakan untuk sumpah, perceraian atau air minum. Umat dan pengunjung diperbolehkan mengambil air dari sumur dengan asistensi Bio Kong. Sebelumnya umat dan pengunjung harus menjelaskan keperluannya terlebih dulu agar air tersebut dapat didoakan oleh Bio Kong.
Makam Kyai Djangkar, Tempat Pemujaan Kong Hu Cu & Rumah Arwah Hoo Ping
Di gedung ini ada tiga tempat pemujaan sekaligus. Paling kiri ada Makam Kyai Djangkar. Dinamakan seperti itu karena di sinilah letak jangkar sekoci yang jatuh ketika armada Zheng He pertama datang ke Pulau Jawa.
Jangkar sekoci ini pertama kali ditemukan di Kali Kuping. Sedangkan jangkar kapal utama jatuh di Rembang. Banyak orang yang datang ke Makam Kyai Djangkar untuk meminta berkah baik untuk usaha maupun kerja.
Di tengah, ada tempat pemujaan untuk pendiri agama Kong Hu Cu. Posisinya mengambil porsi paling besar. Kemudian di sisi paling kanan ada Rumah Arwah Hoo Ping. Arwah Hoo Ping adalah arwah orang meninggal yang tidak dirawat oleh keluarganya. Mereka ditampung di sini untuk didoakan. Arwah Hoo Ping diperingati tiga kali dalam setahun: sehari sebelum Imlek, saat Ceng Beng dan saat upacara Ulambama (Jit Gwee).
Tempat Nyai Cundrik Bumi
Dulunya, area ini dijadikan tempat penyimpanan dan perawatan pusaka. Di sini juga merupakan tempat goa lama berada sebelum dipindahkan karena longsor. Sekarang di sini hanya menjadi simbolisasi saja. Sudah tidak ada lagi pusaka yang tersisa di sini.
Penulis: Dani Agus
Editor: Dani Agus
Sumber: visitjawatengah.jatengprov.go.id,
sampookong.co.id