Masjid yang terletak di Desa Ngadipurwo, Kecamatan Blora, ini merupakan masjid tertua kedua di kabupaten tersebut setelah Masjid Agung Baitunnur yang berada di Alun-alun.
Berada di Kompleks Makam Tirtonatan, masjid ini menyajikan pemandangan otentik dengan bangunan utama berarsitektur joglo yang kokoh meski telah berdiri lebih dari satu abad. Masjid Jami' Baiturrahman bahkan telah ditetapkan sebagai bangunan bercagar budaya.
”Masjid Agung Baitunnur didirikan pada tahun 1774. Kalau Masjid Ngadipurwo itu awalnya sebuah surau atau langgar,” ungkap Muhammadun, Kamis (25/9/2025).
Setelah R.T. Djajeng Tirtonoto wafat pada 1785, keberadaan langgar di Kompleks Makam Keluarga Tirtonatan dilanjutkan oleh putranya, R.T. Prawirojoedo (Bupati Blora 1812-1823). Bangunan langgar yang mulai rapuh kemudian direhabilitasi oleh R.T. Prawirojoedo pada tahun 1814.
Perubahan status dari langgar menjadi masjid dilakukan puluhan tahun kemudian, tepatnya pada 19 Agustus 1894 Masehi (17 Safar 1312 Hijriah) oleh Raden Mas Adipati Arya (R.M.A.A.) Tjokronegoro III (Bupati Blora 1857-1886).
Tjokronegoro III dikenal sebagai sosok yang taat beribadah dan berperan penting dalam pembangunan keagamaan.
”Sebelum Langgar Ngadipurwo menjadi masjid, mengalami tiga kali perubahan. Direhab terakhir tahun 1894,” tambah Muhammadun.
Murianews, Blora – Kabupaten Blora, yang dikenal sebagai The Sunrise of Central Java, memiliki sejumlah bangunan bersejarah, salah satunya adalah Masjid Jami' Baiturrahman.
Masjid yang terletak di Desa Ngadipurwo, Kecamatan Blora, ini merupakan masjid tertua kedua di kabupaten tersebut setelah Masjid Agung Baitunnur yang berada di Alun-alun.
Berada di Kompleks Makam Tirtonatan, masjid ini menyajikan pemandangan otentik dengan bangunan utama berarsitektur joglo yang kokoh meski telah berdiri lebih dari satu abad. Masjid Jami' Baiturrahman bahkan telah ditetapkan sebagai bangunan bercagar budaya.
Pemerhati sejarah, Dalhar Muhammadun menjelaskan, Masjid Jami' Baiturrahman dan Masjid Agung Baitunnur didirikan hampir bersamaan, yakni pada era Bupati Raden Tumenggung (R.T.) Djajeng Tirtonoto.
”Masjid Agung Baitunnur didirikan pada tahun 1774. Kalau Masjid Ngadipurwo itu awalnya sebuah surau atau langgar,” ungkap Muhammadun, Kamis (25/9/2025).
Setelah R.T. Djajeng Tirtonoto wafat pada 1785, keberadaan langgar di Kompleks Makam Keluarga Tirtonatan dilanjutkan oleh putranya, R.T. Prawirojoedo (Bupati Blora 1812-1823). Bangunan langgar yang mulai rapuh kemudian direhabilitasi oleh R.T. Prawirojoedo pada tahun 1814.
Perubahan status dari langgar menjadi masjid dilakukan puluhan tahun kemudian, tepatnya pada 19 Agustus 1894 Masehi (17 Safar 1312 Hijriah) oleh Raden Mas Adipati Arya (R.M.A.A.) Tjokronegoro III (Bupati Blora 1857-1886).
Tjokronegoro III dikenal sebagai sosok yang taat beribadah dan berperan penting dalam pembangunan keagamaan.
”Sebelum Langgar Ngadipurwo menjadi masjid, mengalami tiga kali perubahan. Direhab terakhir tahun 1894,” tambah Muhammadun.
Versi lain...
Madun juga menerangkan adanya versi lain yang sedikit berbeda. Yakni bahwa masjid tersebut berasal dari sebuah desa yang berada di selatan Desa Ngadipurwo, yaitu Desa Purwosari.
”Versi cerita tutur ini menerangkan bahwa bangunan masjid tersebut berasal dari Purwosari. Maka sampai tahun 90-an masih sering beredar cerita tentang masjid genjongan. Yang dimaksud bahwa bangunan masjid tersebut awalnya dari Purwosari kemudian digenjong ke Ngadipurwo,” terangnya.
Meskipun mengalami beberapa kali pembenahan, keaslian kayu masih terjaga. Beberapa ornamen tampak lawas. Diantarnya pilar berbahan kayu jati, tembok yang cukup tebal, serta bedug diletakkan di serambi.
Selain itu mimbar khatib dan Mustaka Masjid yang berbentuk mirip seperti mahkota raja jawa. Termasuk prasasti berbentuk ukiran kaligrafi terdapat di sebelah kanan pintu masuk masjid.
Editor: Cholis Anwar