Dari hasil survei pada 10 perusahaan, enam di antaranya melaporkan telah memecat rekrutan baru mereka yang berasal dari kalangan Gen Z. Diketahui, Gen Z merupakan generasi yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012.
Ada beberapa alasan yang membuat mereka diberhentikan dari pekerjaannya. Paling banyak, yakni kurangnya motivasi atau inisiatif serta profesionalisme.
Selain itu, mereka juga dinilai tidak memiliki etos kerja yang kuat, berjuang dengan komunikasi, tidak menangani umpan balik dengan baik, dan umumnya tidak siap untuk tuntutan tenaga kerja.
Murianews, Jakarta – Sebuah platform konsultasi pendidikan dan karier, Intelligent mengungkapkan data yang mengejutkan terkait pekerja Generasi Zoomer atau Gen Z.
Dari hasil survei pada 10 perusahaan, enam di antaranya melaporkan telah memecat rekrutan baru mereka yang berasal dari kalangan Gen Z. Diketahui, Gen Z merupakan generasi yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012.
Ada beberapa alasan yang membuat mereka diberhentikan dari pekerjaannya. Paling banyak, yakni kurangnya motivasi atau inisiatif serta profesionalisme.
Selain itu, mereka juga dinilai tidak memiliki etos kerja yang kuat, berjuang dengan komunikasi, tidak menangani umpan balik dengan baik, dan umumnya tidak siap untuk tuntutan tenaga kerja.
Berikut 10 alasan mengapa perusahaan memecat karyawan Gen Z:
1. Kurangnya motivasi atau inisiatif - 50 persen
2. Kurangnya profesionalisme - 46 persen
3. Keterampilan berorganisasi yang buruk - 42 persen
4. Keterampilan komunikasi yang buruk - 39 persen
5. Kesulitan menerima feedback - 38 persen
6. Kurangnya pengalaman kerja yang relevan - 38 persen
7. Keterampilan pemecahan masalah yang buruk - 34 persen
8. Keterampilan teknis yang tidak memadai - 31 persen
9. Ketidakcocokan budaya - 31 persen
10. Kesulitan bekerja dalam tim - 30 persen
Dalam survei lainnya, menunjukkan bahwa Gen Z terlalu bergantung pada dukungan orang tua selama pencarian kerja. Menurut survei ResumeTemplates, menyebutkan 70 persen Gen Z mengaku meminta bantuan orang tua mereka dalam proses pencarian kerja.
Sementara itu, 25 persen lainnya bahkan membawa orang tua mereka ke wawancara. Sementara banyak yang lainnya meminta orang tua mereka mengirimkan lamaran kerja dan menulis resume untuk mereka.
Gen Z tidak tahu keterampilan dasar
Holly Schroth, dosen senior Haas School of Business di University of California, Berkeley menjelaskan, fokus Gen Z saat mengikuti ekstrakurikuler hanya untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi mereka.
Padahal, semestinya, kegiatan itu bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pengalaman kerja. Kondisi itu menyebabkan ’’harapan yang tak realistis’’ tentang tempat kerja dan bagaimana berurusan dengan atasan mereka.
’’Mereka (Gen Z) tidak tahu keterampilan dasar untuk interaksi sosial dengan pelanggan, klien, dan rekan kerja, atau etiket di tempat kerja,’’ kata Schroth seperti dikutip dari Euronews, Rabu (23/10/2024).
Akibatnya, perusahaan memiliki wewenang untuk melakukan orientasi karyawan baru dengan benar dan memberikan pelatihan yang cukup. Selain itu, bos perlu bertindak sebagai pelatih sekaligus manajer.
Sementara, Kepala Penasihan Pendidikan dan Pengembangan Karier Intelegent, Huy Nguyen mengatakan, banyak lulusan perguruan tinggi baru-baru ini kesulitan memasuki dunia kerja untuk kali pertama.
’’Karena hal itu bisa sangat berbeda dari apa yang biasa mereka alami selama belajar. Mereka sering kali tidak siap menghadapi lingkungan yang kurang terstruktur, dinamika budaya tempat kerja, dan ekspektasi pekerjaan yang mandiri,’’ katanya.