Ibnu Sina akhirnya hijrah ke Isfahan, Iran. Di tempat ini kemudian, Ibnu Sina menetap dan mendirikan rumah di sana.
Meski dekat dengan penguasa, Ibnu Sina tak mau terlibat dalam politik. Ia pun fokus pada pekerjaannya sebagai dokter.
Ibnu sina pun akhirnya melarikan diri dari Ifsahan bersama Ala El Dowleh. Padahal, saat itu kesehatannya sedang memburuk.
Ibnu Sina kemudian kembali ke Hamedan mengikuti Ala El Dowleh. Tak lama setelahnya Ibnu Sina meninggal di kota yang mengejar dan memenjarakannya pada 1037 di usia 58 tahun.
Ia dimakamkan di Hamedan, dekat Teheran, iran. Makamnya telah diubah menjadi sebuah museum pada tahun 1950 M.
Museum tersebut dilengkapi dengan perpustakaan dengan ribuan koleksi buku. Dalam bidang sejarah intelektual tercatat sebanyak 450 judul karya Ibnu Sina, namun hanya 240 judul yang terselamatkan sampai era modern.
”Al-Qanun Fil-Tibb” merupakan karya terbesar Ibnu Sina dalam bidang kedokteran yang sangat berpengaruh di dunia.
Murianews, Kudus – Dunia kedokteran modern tak lepas dengan sosok Ibnu Sina. Tak hanya menjadi dokter, Ibnu Sina juga dikenal sebagai ilmuwan hebat dan filsuf dalam sejarah peradaban Islam.
Di dunia barat, Ibnu Sina dikenal dengan nama Avicenna. Pemikirannya dalam dunia kedokteran sangat berpengaruh.
Namun siapa sangka, ternyata kehidupan Ibnu Sina jauh dari kata damai. Ia dikejar-kejar para penguasa dan memaksanya untuk terus berhijrah.
Melansir dari berbagai sumber, Ibnu sina lahir di sebuah desa dekat Bukhara yang dikenal sebagai Kharmithan, di bawah kekaisaran Persia, kini masuk wilayah Uzbekistan.
Sejak berusia 10 tahun, Ibnu Sina telah menghafal Alquran. Ia juga mempelajari beberapa keilmuan dengan beberapa orang.
Seperti belajar matematika dari seorang pedagang kelontong, argumentasi agama dari seorang petapa tua, dan filsafat dari seorang guru terkenal, Nateli.
Ia juga membaca beberapa literatur penulis Yunani, seperti Aristoteles, Plato, dan Euclid. Dari membaca dua filsuf dan mendiskusikannya menjadi awal mula pemikirannya yang ’Peripatetik’.
Ibnu Sina pun terobsesi dengan logika sejak usia 16 tahun. Dalam sebuah anekdot, Ibnu Sina mengklaim setiap kali ada masalah yang luput dari perhatiannya, ia berdoa ke masjid untuk mencari solusinya.
Awal Perjalanan Ibnu Sina...

Namun setiap kali dia merasa lemah secara fisik, dia memulihkan kekuatannya dengan meminum segelas anggur.
Ayahnya merupakan tokoh berpengaruh yang memiliki pemikiran radikal. Dalam sebuah litelatur, Ibnu Sina pernah menceritakan ayahnya merupakan salah satu sosok yang hadir dalam undangan orang Mesir (Fatimiyah) dan termasuk di antara kaum Ismaili.
Kaum Ismaili sendiri merupakan sekte mistik, dan tidak dianggap ortodoks para penguasa Persia. Tak hanya itu, ayah dan saudara lelakinya juga mendiskusikan rezim pengetahuan lain yang berbeda pendapat, seperti aritmatika, geometri, dan filsafat India.
Sejak ayahnya meninggal, Ibnu Sina memutuskan hijrah ke Gurganj. Perpindahan itu menjadi pertanda dimulainya perjalanan Ibnu Sina.
Mulanya, Ibnu Sina diterima dengan tangan terbuka. Namun, kehidupannya di Gurganj tak mudah.
Ibnu Sina pun kembali hijrah ke Hamadhan atau Hamedan, Iran. Namun, keputusannya itu membuat Sultan Gurganj kecewa.
Awalnya ia dipanggil untuk merawat penguasa Hamedan, Iran karena sakit perut. Ibnu Sina akhirnya diangkat menjadi dokter pribadi hingga menjadi wazir.
Namun, Ibnu Sina mempunyai musuh dalam posisi terakhir ini, terutama dengan tentara. Dalam perjalanannya, ia mulai membuka komunikasi dengan penguasa Isfahan, Ala El-Dowleh. Ketika komunikasinya itu diketahui, ia terpaksa sembunyi.
Karya Terbesar Ibnu Sina...

Ibnu Sina akhirnya hijrah ke Isfahan, Iran. Di tempat ini kemudian, Ibnu Sina menetap dan mendirikan rumah di sana.
Meski dekat dengan penguasa, Ibnu Sina tak mau terlibat dalam politik. Ia pun fokus pada pekerjaannya sebagai dokter.
Sayang, Ibnu Sina tetap tak bisa mendapatkan kedamaian. Ia selalu dihadapkan dengan perang saudara.
Ibnu sina pun akhirnya melarikan diri dari Ifsahan bersama Ala El Dowleh. Padahal, saat itu kesehatannya sedang memburuk.
Ibnu Sina kemudian kembali ke Hamedan mengikuti Ala El Dowleh. Tak lama setelahnya Ibnu Sina meninggal di kota yang mengejar dan memenjarakannya pada 1037 di usia 58 tahun.
Ia dimakamkan di Hamedan, dekat Teheran, iran. Makamnya telah diubah menjadi sebuah museum pada tahun 1950 M.
Museum tersebut dilengkapi dengan perpustakaan dengan ribuan koleksi buku. Dalam bidang sejarah intelektual tercatat sebanyak 450 judul karya Ibnu Sina, namun hanya 240 judul yang terselamatkan sampai era modern.
”Al-Qanun Fil-Tibb” merupakan karya terbesar Ibnu Sina dalam bidang kedokteran yang sangat berpengaruh di dunia.